Selasa, 21 Desember 2010

kepahlawanan

TIDAK ada definisi tunggal mengenai pahlawan, tetapi secara umum ia diartikan sebagai orag yang dianggap berjasa bagi kepentingan orang banyak. Pahlawan adalah sosok yang berkorban untuk menyelematkan nasib orang banyak. Sang pahlawan sendiri tidak peduli lagi nasibnya, apakah ia jadi martir atau masih hidup. Yang jelas ia telah diakui sebagai faktor perubah nasib bagi yang lain.
Omar Mukhtar, sosok tua renta pengobar anti-penjajah Italia itu tak mau mengakui eksistensi Italia atas Libya. Akibatnya, ia dihukum gantung. Dalam film Moustapha Akkad, “Lion on The Desert” (1981), Anthony Quinn memerankan “tribal leader” tersebut melawan tentara Mussolini, dengan amat mengesankan. Prinsip dan keberaniannya dikagumi kawan dan lawan. Ia martir dimana orang sesudahnya tak melupakan kepahlawanannya.
Kisah Omar, banyak juga dijumpai juga di sini. Para pahlawan nasional kita, banyak yang jadi martir bagi kemerdekaan Indonesia. Robert Wolter Mongonsidi, misalnya. Ia lahir di Malalayang, Manado, 14 Februari 1925 dan gugur di tiang penembakan oleh pihak Belanda di Pacinang, Makassar, 5 September 1949. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Makassar.
Di era penjajahan kisah-kisah kepahlawanan kita seabreg. Ambil contoh lagi, kisah Diponegoro. Ia akhirnya diasingkan oleh Belanda, dan wafat jauh dari tempat kelahirannya. Sang pengobar Perang Jawa (Java Oorlog) ini, mirip Omar Mokhtar. Ia angkat senjata melawan pihak asing yang menjajah tanah kelahirannya. Memang ada sebab-sebab khusus yang berbeda. Tetapi, dengan kapasitas kepemimpinanya, ia melawan penajah. Perang Jawa itu berkobar sepanjang 1825-1830.
Menurut catatan Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Kisah Omar dan Diponegoro, juga mengingatkan sosok bernama Imam Shamil. Shamil adalah pemimpin politik dan keagamaan pengobar Perang Kaukasia, melawan tentara Rusia sepanjang 1834 -1859. Ia termasuk sosok yang amat ditakuti pihak Rusia pada masanya. Sastrawan Leo Tolstoy mengaguminya, danmengabadikan dalam novelnya berjudul Hadji Murat (dipublikasikan 1912). Tapi, sebagaimana Omar dan Diponegoro, Shamil ditangkap. Hanya saja Shamil sempat naik haji dan akhirnya wafat di Madinah pada 1871.
Kisah-kisah anti-penjajahan seperti di atas banyak dijumpai di negara-negara yang pernah mengalami penjajahan, bahkan Amerika Serikat sekalipun. Ada banyak sekali nama atas mereka yang anti-penjajah, dari George Washington hingga Syeh Yusuf di Afrika Selatan.
Demitologisasi
Kata pahlawan alias hero, berasal dari bahasa Yunani, yang dalam mitologi Yunani terkait dengan pasukan atau yang berkorban demi Tuhan atau kebenaran. Pahlawan selalu terkait dengan pengorbanan dan keberanian. Pahlawan adalah “pelindung”, “pembela” atau “penjaga”. Misalnya, dalam mitologi dikaitkan dengan keberadaan Dewi Hera, sang penjaga perkawinan (the guardian of marriage).
Konsepsi tentang hero, memang populer dikenal di duna cerita rakyat (folklore) dan sastra, yang biasanya dibumbui mitos-mitos. Kepahlawanan biasanya memang kerap gampang dibumbui mitologi. Karena itulah, biasanya, apabila kita membicarakan kepahlawanan, terkadang tak bisa lepas juga untuk tak bersinggungan dengan dimensi mitologi ini.
Tetapi, sejatinya, kita dapat mengupayakan demitologisasi atas sosok-sosok pahlawan yang telah kita kenal selama ini. Demitologisasi penting, setidaknya untuk mengingatkan bahwa kepahlawanan itu dapat hadir pada siapa saja. Orang tidak perlu merasa menjadi sosok mitologis untuk jadi pahlawan. Justru, para pahlawan adalah sosok-sosok yang sejatinya rasional. Mereka sedia jadi martir, justru untuk melanggengkan perjuangannya. Jasadnya boleh mati, tapi visi perjuangannya jalan terus.
Pahlawan zaman sekarang, tentu adalah sosok-sosok yang demitologis. Nelson Mandela, misalnya. Apakah ia sosok yang sakti mandraguna, selayaknya gambaran superhero di dalam cerita-cerita fiksi? Bukan. Justru karena ia orang biasa, tetapi dengan kesabaran yang luar biasalah, ia jadi pahlawan. Justru karena ia mampu menunjukkan dan menyadarkan dimensi kemanusiaan yang terdalamlah yang membuat semua orang terenyuh akan kisah perjuangannya dalam melawan rezim Apartheid di Afrika Selatan.
Pada zaman serba-kompleks ini, dibutuhkan banyak pahlawan di segala medan dan bidang. Tak perlu menunggu jadi tokoh besar baru merasa harus “berbuat”. Pahlawan tak perlu pula pengakuan dan penghargaan formal. Orang cukup berbuat baik dan melawan hal-hal yang mencelakakan, untuk jadi pahlawan. Justru letak kepahlawanan ialah ketanpa-pamrihan.
Tidakkah anda otomatis mengakui nama-nama seperti Thaib, Suripto, dan Prihatin, warga warga Ngangkruk RT 01 RW 02 Selokaton, Gondangrejo, Karanganyar, yang menggagalkan aksi para “penyabotase” yang tengah mencabuti penambat rel (pen roll) di petak jalan rel sepanjang 60 meter di Km 101+9/0 antara Stasiun Kaliyoso-Solo Balapan itu? Bukankah mereka secara tidak langsung telah “menyelamatkan” banyak nyawa? Tetapi, bukankah Thaib, Suripto, dan Prihatin, tak butuh pengakuan bahwa mereka pahlawan?
Sifat-sifat kepahlawanan, seperti rela berkorban, tampa pamrih dan tulus dalam bekerja, harus kita munculkan pada diri sendiri, tak peduli apakah kita tergolong “orang kecil” atau “orang besar”. Di tengah stuasi bangsa yang “semrawut” ini, para pemimpin mutlak harus jadi pahlawan. Tetapi, kalau “masih ada pamrih”, maka mereka belumlah merupakan pahlawan yang sejati. Mestinya para pemimpin kita punya stasiun (maqam) kepahlawanan lebih tinggi ketimbang rakyat biasa.


sumber : personal n google

Tidak ada komentar: